faktor mempengaruhi emosi, perkembangan emosi, emosi anak
Terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi perkembangan emosi anak prasekolah atau TK. Faktor ini dapat berasal dari dalam diri individu, konflik - konflik dalam proses perkembangan, dan sebab yang bersumber dari lingkungan. Hurlock (1991) dan Lazarus (1991), menyatakan bahwa perkembangan emosi pada anak dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu adanya proses maturation atau kematangan dan faktor belajar.
Namun dari kedua faktor ini, Hurlock lebih menekankan pentingnya pengaruh belajar untuk perkembangan emosi anak, karena belajar merupakan faktor yang dapat dikendalikan.
Menurut Kostelnik, Soderman, dan Whiren (1999), selama masa kanak-kanak terdapat beberapa peluang waktu yang berubah secara signifikan dalam perkembangan anak. Perubahan-perubahan ini mengacu pada interaksi yang kompleks an tara struktur tubuh internal anak dan otak dan pengalaman secara fisik dengan lingkungan sosial. Selama masa tersebut, yang selanjutnya disebut sebagai windows of opportunity for development and learning, pengaruh lingkungan akan lebih diterima dibandingkan pada masa-masa lain. Kegagalan dalam berbagai pengalaman pada masa windows of opportunity akan menyebabkan anak tidak termotivasi atau tidak mampu meraih potensi-potensi di kemudian hari. Windows of opportunity untuk aspek emosi terjadi pada saat anak lahir hingga usia lima tahun.
Lingkungan dalam proses belajar, berpengaruh besar untuk perkembangan emosi, terutama lingkungan yang berada paling dekat dengan anak khususnya ibu at au pengasuh anak. Thompson dan Lagatutta (2006), menyatakan bahwa perkembangan emosi anak usia dini sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan hubungan keluarga dalam setiap hari, anak belajar emosi baik penyebab maupun konsekuensinya. Goleman (1995), menyatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh lingkungan, apa yang dialami dan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari lebih menentukan tingkah laku dan pola tanggapan emosi. Jika sejak usia dini anak mendapat latihan-latihan emosi yang tepat. maka kecerdasan emosinya akan meningkat (Salovey & Mayer, 1995).
Suveg, Zeman, Flannery-Schroeder, & Cassano (2005), lebih mernpertegas lagi pengaruh lingkungan terhadap perkembangan emosi, dengan menyatakan bahwa pendidikan emosi pada anak dapat dilakukan melalui pengajaran secara langsung. Selain itu, dapat pula secara tidak langsung seperti melalui modeling, iklim emosi dalam keluarga, referensi sosial, komunikasi, dan pengungkapan stimulus emosi.
Menurut Broufenbrenner (dalam Santrock, 2000 dan Patmonodewo, 2000), perkembangan anak dipengaruhi oleh lima sistem lingkungan, terdiri dari: (1) mikrosistem; (2) mesosistem; (3) eksosistem; (4) makrosistem; dan (5) kronosistem.
Lingkungan mikrosistem merupakan setting di mana anak hidup, meliputi keluarga inti, ternan-ternan sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling dekat dengan agen-agen sosial berlangsung, misalnya dengan orang tua, ternan-ternan sebaya, dan guru. Menurut Wenar (1994), lingkungan terdekat anak adalah lingkungan yang terkait dengan dimensi interpersonal, yang menekankan pada interaksi antar-individu seperti antara anak dan orang tua, saudara kandung, ternan sebaya, dan guru.
Interaksi anak dengan lingkungan terdekat mengakibatkan besarnya pengaruh lingkungan ini terhadap perkembangan emosi anak.
Mengacu pada teori Albert Bandura (dalam Santrock, 2002) mengenai Social Learning Theory, anak mengembangkan perilakunya melalui proses modeling atau imitasi. Bandura menyatakan bahwa modeling terbentuk karena adanya proses kognitif yang terdiri dari empat hal, yaitu adanya attention, retention, motor reproduction, dan motivation. Proses attention merupakan suatu kondisi di mana anak harus menemukan model yang cukup menarik untuk mengikat perhatian anak (Salkind, 2002), dan khususnya aspek perilaku yang signifikan dengan perilaku yang ditiru. Perhatian saja tanpa aspek perilaku yang cukup bermakna untuk ditiru, tidak akan membuat individu meniru model (Ormrod, 2004). Proses retention merupakan tahap kedua dalam belajar melalui model dengan mengingat perilaku yang telah diobservasi (Ormrod, 2004 & Salkind, 2002).
Salah satu cara yang sederhana untuk mengingat apa yang telah dilihat adalah dengan rehearsal, yaitu mengulang apa pun yang dibutuhkan untuk diingat berkali-kali. Mengacu pada teori Bandura, individu mengingat representasi verbal (seperti langkah-langkah instruksi atau labels yang mendiskripsikan suatu kegiatan yang dibentuk) maupun gambaran visual perilaku yang telah dilihat. Kode-kode ingatan verbal dan visual ini sebagai guide, ketika individu membentuk perilaku yang diobservasi (Ormrod, 2004). Proses motor reproduction merupakan proses ketiga dalam modeling sebagai replikasi perilaku yang telah didemonstrasikan model (Ormrod, 2004), namun tanpa kontrol motorik yang tepat, anak tidak akan mampu menirukan perilaku model (Salkind, 2002). Proses motivasi sebagai tahap terakhir dalam modeling. Motivasi dibutuhkan, karena tanpa keinginan untuk memperagakan apa yang telah dipelajari maka perilaku yang telah diamati tidak akan ditiru (Ormrod, 2004 & Salkind,2002).
COMMENTS